Jumat, 31 Juli 2009

Memutus Rantai Gajah

Jamil Azzaini



Kita semua pastilah tahu gajah liar. Tapi tahukah kita bahwa dalam kondisi liar ia mampu berjalan lebih dari 40 km per hari? Ia juga mampu mencari makan dalam jumlah yang berlimpah. Memiliki kekuatan merobohkan pohon, merusak satu kampung, dan memiliki kekuatan lainnya.

Anda tahu bagaimana cara menjinakkan gajah liar itu? Pertama, tembak gajah itu dengan obat bius. Kedua, ikat gajah itu dengan rantai dan ikatkan di pohon yang besar. Setelah siuman gajah akan lari, tapi karena kakinya diikat dengan rantai maka gajah itu pasti akan terjatuh.

Setelah terjatuh dia bangun lagi, lari...dan jatuh lagi. Begitu terus berulang-ulang. Setelah gajah lelah datanglah pawang gajah memberinya makan. Ketika gajah memiliki tenaga baru dia berusaha lari lagi... dan terjatuh lagi. Lalu datang lagi pawang, memberi makan. Fragmen seperti itu terus berulang sampai kira-kira selama dua pekan.

Di pekan ketiga sang pawang akan mengganti rantai yang mengikat kaki gajah dengan tali plastik. Akankah si gajah mencoba berontak lagi? Ternyata tidak. Mengapa? Dia takut terjatuh. Dia sudah punya pengalaman berkali-kali di dua pekan sebelumnya, kalau dia berlari pasti terjatuh.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kemampuan gajah berkurang dan dibatasi dengan pikirannya sendiri. Bahkan sampai mati nanti, kehidupan gajah dibatasi dengan pikirannya sendiri. Bila sudah begini, dia tak mau lagi berjalan lebih dari 40 kilometer. Dia tak mau lagi mencari makanan sendiri. ”Toh nanti ada yang antar”, pikir si gajah.

Sesungguhnya, di dalam diri pun banyak "rantai gajah". ”Tak mungkin saya berhasil, saya kan bukan sarjana” ; ”Nggak mungkin saya sukses. Bapak dan kakek buyut saya kan kere, garis keturunan saya adalah garis kere” ; ”Nggak mungkin saya berwirausaha, darah saya kan jawa, cocoknya pegawai negeri”. Ungkapan-ungkapan diri seperti itulah yang saya katakan sebagai "rantai gajah" dalam diri kita.

"Rantai gajah" juga bisa mewujud untuk membatasi pikiran ketika mendapati kondisi tubuh yang kurang sempurna, tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan, usia dan lain sebagainya. Ini tentu akan menghambat prestasi dan kemampuan kita yang sesungguhnya. Kemampuan optimum kita pun tak pernah tercermin dalam aktivitas sehari-hari.

Bila kita ingin potensi yang sesungguhnya muncul, kita harus take action untuk membuang "rantai gajah" dalam diri. Lihatlah Ucok Baba, aktor bertubuh mungil, atau Tukul Arwana yang sosoknya oleh dirinya sendiri diakui sebagai sosok "wong ndeso" (orang kampung—red), mampu menjadi presenter di televisi.

Anda tentu juga mengenal Helen Keller. Dengan mata yang buta, tuli dan gagu tapi dia mampu lulus dari Harvard University. Kita juga pasti kenal Hee Ah Lee, seorang yang hanya memiliki empat jari; dua di kanan, dua di kiri, namun ia menjadi pianis hebat dunia dan sudah menggelar konser di berbagai negara.

Pendidikan juga tak boleh menjadi "rantai gajah". Bill Gates tidak menyelesaikan pendidikan sarjananya namun mampu menjadi "raja" komputer dan orang terkaya di dunia saat ini.

Kemiskinan pun tak boleh menjadi rantai gajah. Mantan Meneg BUMN Sugiharto pernah menjadi seorang pengasong, tukang parkir dan kuli pelabuhan. Kemiskinan tak menghalanginya untuk terus maju. Kemiskinan juga melilit masa lalu kehidupan Sylvester Stallone, yang kini menjadi bintang Hollywood papan atas.

Mari segera buang "rantai gajah" yang masih melekat dalam diri agar kita mampu menembus berbagai keterbatasan. (***)

Kamis, 16 Juli 2009

Bom Lagi.. Bom Lagi..

Jum'at 17 Juli jam 07.42 WIB, Jakarta kembali bergetar oleh ledakan bom di JW.Mariot dan Ritz Carlton setelah 2003 lalu juga terjadi. Semua orang mengutuk, gemas, geram, menyesalkan kejadian tersebut. Kecemasan menggelayuti para penggeliat ibukota, khawatir untuk pergi-pergi ke pusat keramaian Jakarta. Kecemasan juga menghampiri para fans Setan Merah Manchester United yang sangat berharap menanti tim favoritnya tersebut melindas lapangan rumput Gelora bung Karno dalam pertandingan persahabatan dengan Tim Indonesia All Star. Sedianya tim bola Internasional tersebut memang akan menginap di hotel Ritz Carlton.

Media elektronik tak henti-hentinya menayangkan berita yang memang sangat di tunggu-tunggu pemirsa. Semua mata tidak putus-putusnya tertuju pada media-media elektronik yang memberitakan peristiwa bom tersebut. Sampai-sampai waktu sholat jum'at pun hampir terlupakan karena sibuk menonton berita aktual dari televisi.
Kekhawatiran untuk bisa pulang ke rumah dari lokasi kantor juga menghinggapi para commuter.

Bom..oh..bom...
Kenapa kembali mengguncang dan mengacaukan negara kami...
Ya Allah, lindungi kami semua, amiinn